Ikatan Cendikia - Pendidikan B. J. habibie | Jusuf Habibie, yang sering disebut B. J. Habibie, menjabat sebagai Presiden ketiga Republik Indonesia. Beliau terlahir di Pare-Pare, provinsi Sulawesi Selatan tepat pada tanggal 25 Juni tahun 1936. B. J. Habibie menikah dengan Hasri Ainun dan dikaruniai dua orang putra.
Sejak kecil,
B. J. Habibie kehilangan ayahnya, dan ibunya bekerja keras untuk menyokong
kehidupan anak-anaknya.
Pendidikan B. J. Habibie
Dengan nama
lengkap Bacharuddin Jusuf Habibie, beliau lahir di Kota Pare-Pare, Sulawesi
Selatan, pada tanggal 25 Juni 1936. Sebelum menjadi tokoh berpengaruh bagi
bangsa Indonesia, BJ Habibie mengenyam pendidikan di SMAK Dago, Bandung, pada
tahun 1954, dan melanjutkan ke perguruan tinggi di Institut Teknologi Bandung
(ITB).
Berbekal
kepintarannya, BJ Habibie kemudian melanjutkan studi di Jerman bersama dengan
teman-temannya. Berbeda dengan teman-temannya yang menggunakan beasiswa untuk
kuliah di Jerman, BJ Habibie mengandalkan biaya yang diberikan oleh ibunya,
R.A. Tuti Marini Puspowardojo.
Keputusannya
untuk belajar di Jerman dipengaruhi oleh petuah Bung Karno tentang pentingnya
penguasaan teknologi nasional, terutama teknologi maritim dan dirgantara, pada
masa perkembangan Indonesia.
Pada tahun
1955, BJ Habibie memilih jurusan Teknik Penerbangan dengan spesialisasi
Konstruksi Pesawat Terbang di Rhein Westfalen Aachen Technische Hochschule,
Jerman.
Dari
pengalaman ini, BJ Habibie memperoleh pengetahuan tentang teknologi dan menjadi
pakar pesawat terbang yang menciptakan pesawat pertama di Indonesia. Oleh
karena itu, tidak mengherankan jika ia dikenal sebagai bapak teknologi
Indonesia karena prestasinya yang luar biasa.
Kisah hidup
atau biografi BJ Habibie memberikan banyak pelajaran yang dapat diambil.
Meskipun masa jabatannya sebagai presiden singkat, beliau adalah tokoh bangsa
yang membawa semangat kebangsaan dan membawa perubahan intelektual bagi
Indonesia.
Masa Kecil BJ Habibie
BJ Habibie menghabiskan masa kecilnya di Pare-pare, Sulawesi Selatan, bersama kedua orang tuanya dan tujuh saudaranya. Ayahnya, Alwi Abdul Jalil Habibie, adalah seorang ahli pertanian asal Gorontalo, sementara ibunya, R.A. Tuti Marini Puspowardojo, berasal dari Yogyakarta dan memiliki spesialisasi mata.
Sebagai anak
keempat dari delapan bersaudara, BJ Habibie tumbuh dalam keluarga yang
religius. Masa kecilnya diwarnai oleh keakraban dengan bacaan Al-Quran yang
diajarkan oleh sang ayah, Alwi Abdul Jalil Habibie, yang memberinya ketenangan.
Pada usia tiga tahun, BJ Habibie sudah lancar membaca Al-Quran, menunjukkan
kecerdasannya sejak masa kecil.
Ketika BJ
Habibie masih berusia 14 tahun, sang ayah meninggal dunia, meninggalkan ibunya,
R.A. Tuti Marini Puspowardojo, untuk menghadapi tantangan hidup sendiri bersama
kedelapan anaknya. Setelah kepergian sang ayah, keluarga BJ Habibie akhirnya
pindah ke Bandung.
Masa Pendidikan BJ Habibie
BJ Habibie,
yang dikenal sebagai intelektual, memiliki latar belakang pendidikan yang
mencerminkan kecerdasannya sejak masa kecil. Ia menempuh pendidikan di SMAK
Dago Bandung, di mana kecerdasannya terus terlihat.
Setelah
menyelesaikan pendidikan di SMAK Dago, BJ Habibie melanjutkan ke perguruan
tinggi di ITB (Universitas Indonesia Bandung pada waktu itu). Meskipun hanya
kuliah selama setahun di ITB, BJ Habibie kemudian melanjutkan studinya di
Jerman selama 10 tahun.
Pada saat BJ
Habibie masih mahasiswa ITB, pemerintahan Presiden Soekarno sedang menggalakkan
program beasiswa bagi pelajar Indonesia yang ingin menimba ilmu di luar negeri.
Meskipun BJ
Habibie tidak mendapatkan beasiswa dari negara, ibunya yang membiayai
pendidikannya di Jurusan Teknik Penerbangan spesialis Konstruksi Pesawat
Terbang di Rhein Westfalen Aachen Technische Hochschule, Jerman.
Selama di
Jerman, BJ Habibie belajar sambil bekerja praktik selama bertahun-tahun.
Motivasi utamanya adalah ketertarikan untuk membangun pesawat komersial sesuai
ide Soekarno. Ini mengarah pada pendirian PT PAL (IPTN pada saat itu). Motivasi
besar lainnya datang dari ibunya, yang dengan susah payah membiayai
pendidikannya di luar negeri.
Pada tahun
1960, BJ Habibie berhasil meraih gelar Diploma Ing-nya di Technische Hochschule
dengan predikat sempurna atau Cum Laude. Nilainya rata-rata 9,5. Gelar tersebut
membuka pintu bagi BJ Habibie untuk bekerja di Firma Talbot, Industri Kereta
Api di Jerman.
Di
perusahaan ini, ia berhasil menciptakan konstruksi alat yang dibutuhkan oleh
industri kereta api Jerman dengan menggunakan konsep sayap pesawat terbang,
yang sangat membantu perusahaan dalam memenuhi kebutuhan transportasi barang
ringan dalam jumlah besar.
BJ Habibie, Bapak Teknologi Indonesia
Dalam cerita
menarik biografi BJ Habibie, salah satu pencapaian luar biasanya adalah
penemuan teori Crack Propagation, yang kemudian dikenal sebagai Rumus Faktor
Habibie. Rumus ini digunakan untuk menghitung perambatan retak hingga tingkat
atom pada pesawat terbang.
Dengan
menggunakan perhitungan yang akurat dari rumus ini, material pesawat dapat
menjadi lebih kuat dan presisi. Teori ciptaan BJ Habibie memiliki signifikansi
besar, terutama pada masa itu ketika kecelakaan pesawat masih sering terjadi
akibat kegagalan struktural.
Rumus Faktor
Habibie memberi BJ Habibie julukan "Mr. Crack." Prestasinya ini
membawanya meraih gelar Profesor Kehormatan atau Guru Besar dari ITB, serta
penghargaan tinggi seperti Ganesha Praja Manggala.
Prestasi
internasional juga menghampiri BJ Habibie, dengan pengakuan dari
lembaga-lembaga seperti Gesellschaft Luft und Raumfahrt di Jerman, The Royal
Aeronautical Society di London, Inggris, The Academie Nationale de l’Air et de
l’Espace di Prancis, The US Academy of Engineering di Amerika Serikat, dan The Royal Swedish Academy of Engineering
Sciences di Swedia.
Tidak hanya
itu, BJ Habibie juga pernah menerima penghargaan bergengsi yang hampir setara
dengan Hadiah Nobel, seperti Edward Warner Award dan Award Von Karman.
Kepribadian revolusioner ini mendapat banyak pengagum, bahkan saat berkunjung
ke Jerman, namanya selalu mencuat dalam pemberitaan.